Bila ada yang mengatakan kalau kesuksesan adalah sebentuk kutukan, mungkin banyak orang akan mengerutkan alis sebagai tanda tidak percaya. Terutama karena terlalu lama manusia telah dibius kalau kesuksesan adalah sebentuk garis finish kehidupan yang harus dicapai. Kerja keras, belajar keras, mencintai yang keras, semuanya yang serba keras ini dilakukan untuk mencapai kesuksesan. Jumlah saldo di bank yang menggunung, penampilan yang aduhai, nama yang dikenal banyak orang, rumah mewah yang mentereng hanyalah sebagian atribut-atribut kesuksesan yang paling dicari.
Banyak sudah yang dihasilkan oleh pandangan hidup seperti ini. Dari hal-hal mikro seperti keluarga sejahtera, sampai bertumbuhnya ekonomi negara seperti China yang tumbuh demikian mencengangkan. Sukses ternyata tidak saja menjadi energi pribadi, tetapi juga menjadi mesin perekonomian yang bisa menarik gerbong-gerbong perekonomian dalam jumlah banyak. Banyak sudah acungan jempol yang ditujukan pada konsep hidup seperti ini.
Namun sebagaimana wajah kehidupan yang lainnya, sukses juga berwajah ganda. Di satu sisi ia membantu, di lain sisi ia membelenggu. Soal wajah sukses yang membantu, tentu telah banyak diulas dan dibicarakan. Namun soal wajah sukses yang membelenggu, ini yang mulai banyak mengganggu. Perceraian, perselingkuhan, penyakit akibat bekerja terlalu keras, bahkan permusuhan serta peperangan bisa menjadi akibat dari sukses yang membelenggu.
Sebut saja kesombongan sebagai buah sukses. Terlalu banyak orang sukses kemudian diperangkap kesombongan. Dan mudah ditebak apa yang diperoleh manusia setelah diperangkap kesombongan. Kesuksesan telah membuat manusia berbaju ego tebal, menganggap diri paling tinggi serta menempatkan orang lain dalam posisi yang lebih rendah.
Penyakit kelelahan adalah contoh lain. Ada seorang sahabat kaya raya. Yang memperoleh kekayaannya dengan jalan kerja keras. Namun ketika usia menginjak tua, kemudian sakit-sakitan. Dan seluruh kekayaan habis untuk mengongkosi ongkos berobat di Singapura. Bahkan ketika kekayaan habis pun penyakit belum kunjung pergi. Ada juga cerita tentang pria setia yang demikian setianya sama keluarga sampai-sampai harus pulang malam terus dari tempat kerja. Namun begitu jadi orang kaya, kesetiaannya entah pergi ke mana. Kesuksesan harus dia bayar dengan perceraian.
Inilah sekelumit wajah kesuksesan yang memenjara. Sukses (terutama materi) yang dikejar dengan tidak sedikit biaya, dari sekolah yang keras, belajar yang keras, sampai dengan kerja yang keras, bahkan tidak sedikit yang membayarnya dengan harga lebih besar lagi berupa perceraian dan berantakannya rumah tangga, ternyata tidak membebaskan. Sebaliknya malah menjadi penjara-penjara yang menyengsarakan.
Tentu tidak disarankan kalau dari sini banyak sahabat yang takut akan kesuksesan. Tidak disarankan juga menggunakan argumen dalam tulisan ini untuk menghakimi banyak orang sukses. Yang memerlukan perenungan mendalam dalam hal ini, bagaimana membuat sukses yang menelan biaya demikian besar ini bukannya memenjara, sebaliknya malah membuat hidup semakin terbebaskan?
Rute menuju ke sebuah tempat memang tidak pernah satu. Salah satu rute yang layak direnungkan dalam mencapai sukses yang membebaskan adalah dengan mencermati pikiran. Benar pendapat seorang guru bahwa mind is a good servant but a bad master. Sebagai pembantu, pikiran memang pembantu yang amat mengagumkan. Namun sebagai penguasa, pikiran juga yang demikian memenjara. Secara lebih khusus lewat sifat pikiran yang hanya mengerti melalui dualitas. Tidak saja penyakit yang memenjara, sehat juga memenjara. Terutama kalau sehat kemudian berharap selamanya sehat walafiat. Tidak saja derita memerangkap, bahagia juga memerangkap karena kebahagiaan menghadirkan keserakahan untuk tidak mau berganti situasi.
Sukses sebagai hasil olahan pikiran juga serupa. Tidak saja gagal memenjara, sukses juga memerangkap. Terutama karena kesuksesan diikuti oleh keterikatan agar sukses abadi. Sebagai akibatnya, kesuksesan disertai banyak ketakutan. Dan inilah salah satu awal dari sukses yang memenjara.
Seorang guru yang paham dalam akan hal ini pernah memberikan saran sederhana namun mengagumkan, “Try not too attach to any thought that arise in your mind!” Rupanya keterikatan berlebihan terhadap apa saja yang muncul di pikiran bisa memenjara. Sehingga apa pun gambar yang muncul di pikiran, lebih disarankan untuk berjarak seperlunya. Tidak saja dengan kegagalan perlu berjarak, dengan kesuksesan juga perlu berjarak. Ketika manusia berhasil berjarak terhadap seluruh dualitas (baik-buruk, sukses-gagal, benar-salah, bahagia-sedih, dll.) inilah tanda-tanda terbukanya pintu gerbang kebebasan.
Tidak mudah tentunya, terutama karena manusia telah lama dipenjara pikiran. Diperlukan langkah-langkah pendisiplinan pikiran yang panjang. Dan meditasi adalah salah satu kendaraan penting dalam hal ini. Tugas meditator dalam hal ini, apa saja yang muncul di pikiran (baik-buruk, sukses-gagal, bahagia-derita) disarankan hanya dilihat. Persis seperti melihat gambar-gambar sinetron di televisi. Semuanya berganti terus-menerus. Dan yang melihat bisa berjarak terus tanpa perlu terpengaruh berlebihan. Seorang guru pernah berbisik, “Just seeing is your true nature”. Siapa saja yang tekun terus-menerus ‘melihat’, akan datang waktunya bisa memahami apa yang disebut sebagai sukses yang membebaskan.
Source : Gede Prama, Kebahagian yang Membebaskan “Menghidupkan Lentera di Dalam Diri”, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
0 komentar:
Posting Komentar