Selamat datang di Phnom Penh, kota yang memikat turis bermodalkan kisah kelam. Bukannya membuat hati berdecak kagum, Ibukota Kamboja ini justru mengajak kita menangis, merenung, lalu bertanya kepada nurani: ”Di mana Tuhan saat semua pembantaian massal itu terjadi?” Fransiska Anggraini mengisahkan pengalamannya berkunjung ke kota yang menyimpan drama genosida terkeji dalam sejarah Asia Tenggara.
Kasur tempat penyiksa tahanan di Penjara Tuol Sleng.
Tak semua destinasi menjual gulali. Lihatlah Phnom Penh. Kota terbesar di Kam-boja ini justru menawarkan Killing Fields dan Penjara Tuol Sleng, dua tempat yang menjadi saksi pembantaian sadis. Berbeda dengan kompleks candi Angkor, kedua tempat horor tersebut hanya layak disambangi mereka yang berhati tegar. Keduanya begitu mengerikan sampai-sampai di berbagai buku panduan lokal tentang Phnom Penh, tercantum wanti-wanti bagi turis untuk berpikir masak-masak jika ingin datang.
Andai kaum Yahudi yang menjadi korban, mungkin pamor Killing Fields dan Penjara Tuol Sleng akan setenar kamp kon-sentrasi Auschwitz. Kisahnya dimulai di zaman rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot yang berkuasa dari 1975 sampai 1979. Setidaknya dua juta warga Kamboja berkalang nyawa. Sebagian besar berakhir tragis di Killing Fields, sisanya meninggal karena kelaparan. Ada dua cara membunuh yang populer dipraktikkan penguasa: menembak atau memukuli hingga mati (namun ber-hubung peluru tergolong barang mewah, mereka lebih sering memakai cara yang kedua).
Rezim bengis Khmer Merah tidak pilih-pilih dalam mem-bunuh. Laki-laki atau perempuan, tua atau muda, anak kecil atau bayi, semuanya tak luput dari pentungan. Kekejian inilah yang membuat Kamboja banjir darah sepanjang pemerintahan Pol Pot, masa gelap yang kemudian disebut ”Year Zero”.
Bangunan tingkat tiga yang disulap Pol Pot menjadi penjara kerkode S-21.
Iblis apa yang mendorong Pol Pot hingga tega menyulap Kamboja menjadi neraka dunia? Pria yang dijuluki ”Blood Brother Number One” ini ternyata ingin menjadikan Kamboja negara agraris murni. Semua warga harus menjadi petani, dan siapa pun yang menentang langsung dijebloskan ke penjara. Tapi sang iblis pembisik agaknya tidak berpikir panjang. Kalau semua orang jadi petani, siapa yang akan menjadi pedagang untuk memasarkan hasil panen? Siapa yang akan berkutat di laboratorium untuk mengembangkan teknologi pupuk? Siapa pula yang akan bernyanyi guna menghibur para petani saat ngaso di saung?
Tapi mata hati Pol Pot agaknya telah buta. Ia memberangus semua lawannya, menjadikan dirinya mesin pembunuh guna memaksakan idealismenya. Kaum intelektual dan seniman dimusuhi. Sebagian sisi candi Angkor Wat yang merupakan kebanggaan warga dihancurkan. Warga sipil yang tak berdosa dengan mudahnya dijebloskan ke penjara hanya karena mereka mengenakan kacamata dan mengerti bahasa asing, dua atribut yang dianggap sebagai ciri-ciri kaum intelektual, golongan yang akan melawan bila disuruh membajak sawah.
Killing Fields dan penjara penyiksaan tersebar di seantero Kamboja, namun yang paling besar adalah Penjara Tuol Sleng yang berkode S-21 dan Killing Fields di kampung kecil di luar Phnom Penh yang bernama Choeung Ek.