Jumat, 03 Februari 2012

Kisah Zaid Bin Haritsah

Zaid bin Haritsah (578-629) merupakan salah satu budak sekaligus sahabat Rasulullah. Zaid bin Haritsah berasal dari kabilah Kalb yang menghuni sebelah utara jazirah Arab. Ayah Zaid bernama Haritsah bin Imri’ Al-Qais dan Ibunya bernama Sa’d Binti Tsa’labah. Dia merupakan pemimpin pejuang Islam yang gugur di medan peperangan.

Ketika masih kecil, Zaid diajak ibunya menengok kampung halamannya karena dia sangat rindu, namun tiba-tiba datang pasukan Bani al-Qayn menyerang kampung tersebut. Mereka banyak menahan tawanan termasuk Zaid. Lalu kemudian Zaid di jual kepada Hakim bin Hizam dengan empat ratus dirham yang kemudian dihadiahkan kepada bibinya Khadijah binti Khuwailid. Ketika Khadijah menikah dengan Rasulullah, Zaid pun dihadiahkan kepada Rasulullah.

Pada waktu musim haji, Zaid bertemu orang dari kampung halamannya, kemudian Zaid berpesan kepada mereka bahwa saya kangen kepada kedua orang tuanya dan saya berada di tempat orang yang sangat tepercaya.

Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Makkah, bersama seorang saudaranya. Di Makkah keduanya langsung menanyakan di mana rumah Muhammad al-Amin. Setelah berhadapan muka dengan Muhammad, Haritsah berkata: “Wahai Ibnu Abdil Muthallib, wahai putra dari pemimpin kaumnya, Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan. Kami datang kepada Anda hendak meminta anak kami. Sudi kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusan seberapa adanya?”

Rasulullah pun sendiri telah mengetahui benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, akan tetapi beliau menyadari bahwa Zaid ada yang berhak mengasuhnya. Maka kata Rasulullah kepada Haritsah: “Panggillah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih Anda, maka akan saya kembalikan kepada Anda tanpa tebusan. Sebaliknya jika dia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku”.

Mendengar ucapan dari Rasulullah yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri gembira, karena tidak disangkanya sama sekali kemurahan hati seperti itu, lalu ucapnya: “Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan Anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu”

Kemudian Nabi menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya di hadapannya, beliau langsung bertanya: “Tahukah engkau siapa orang-orang ini?” “Ya, tahu”, jawab Zaid, “Yang ini ayahku sedang yang seorang lagi adalah pamanku”.

Kemudian Nabi mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya. Tanpa berpikir panjang, Zaid menjawab: “tidak ada orang pilihanku kecuali Anda. Andalah ayah, dan Andalah pamanku!”

Mendengar itu, kedua mata Rasulullah basah dengan air mata, karena rasa syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka’bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lalu berkata: “Saksikan oleh kalian semua, bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku sekaligus menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya”.

Mendengar perkataan Rasulullah, hati Haritsah menerimanya secara suka cita, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, malah sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan “Ash-Shadiqul Amin” keturunan Bani Hasyim. Kemudian Ayah dan paman Zaid pulang dengan hati yang gembira walaupun anak yang dicintainya tidak berhasil di bawah pulang.


Zaid selalu bersama Rasulullah sampai Allah mengangkat beliau menjadi rasul. Zaid pun langsung mempercayainya dan langsung masuk Islam, kemudian beliau turut shalat bersama Nabi. Nabi pun sering mengajak ke mana beliau pergi berdakwah. Ketika beliau pergi ke Thaif Nabi mengajak Zaid untuk melakukan menyebarkan kebenaran. Saat itu orang-orang Thaif di tengah perjalanan menganiaya Nabi dengan melempari batu sampai tumit nabi terluka.

Rasulullah telah memerdekakan Zaid dan mengawinkannya dengan budak wanita beliau, yaitu Zainab binti Jasyi. Kemudian sang istri melahirkan anak yang diberi nama Usamah bin Zaid bin Haritsah yang mendapatkan julukan al-Hub ibnul-Hub. Zaid bin Haritsah juga sering di tugaskan untuk mengamankan Madinah dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab lebih dari satu kali.

Akhirnya datanglah perang Muktah, Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka, secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan dan wujud mereka.

Terutama di daerah jajahan mereka di Syria yang berbatasan langsung dengan kekuasaan Islam, yang senantiasa bergerak maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya dari cengkeraman penjajah. Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai batu loncatan untuk menaklukkan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.

Gerak-gerik orang-orang Romawi dan tujuan terakhir mereka yang hendak menumpas kekuatan Islam dapat tercium oleh Rasulullah. Sebagai seorang ahli strategi, Rasulullah memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak daripada diserang di daerah sendiri, dan menyadarkan mereka akan keampuhan perlawanan Islam. Tepatnya pada bulan Jumadil Ula, tahun 8 H, tentara Islam maju bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam.

Sebelum berangkat Rasulullah menunjuk salah satu sahabat terbaiknya untuk dijadikan panglima perang melawan tentara Quraisy, dengan berkata: “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan seandainya Ja’far gugur pula, maka tempatnya diisi oleh Abdullah bin Rawahah. Jika semua gugur maka musyawaralah siapa yang pantas di antara kamu sekalian”.

Kemudian pasukan Islam maju ke medan perang yang di pimpin oleh Zaid bin Haritsah. Bertemulah dua pasukan saling serang antar satu dengan yang lainnya. Panglima Zaid bin Haritsah terus maju menyerbu, memberikan komando kepada pasukannya, membelah barisan tentara musuh. Dia yakin bahwa maut telah menanti di tempat itu. Tetapi dia tidak gentar dan tidak mundur selangkah pun dari menghadapi maut, jangankan sampai mundur takut seujung rambut dia tidak ada, dia terus maju menebas leher-leher musuhnya.

Seluruh pasukan Islam kala itu memperlihatkan bagaimana Zaid bin Haritsah jadi pahlawan di medan perang Muktah. Zaid terus melakukan serangan dengan sekuat tenaga. Hingga akhirnya Zaid terkena banyak tusukan tombak dan senjata dari pihak tentara musuh, dia pun terbunuh sebagai syahid.

Zaid bin Haritsah gugur sebagai syuhada pada Jumadil Awal 8 Hijriah, saat itu berusia 55 tahun.

Setelah melihat Zaid gugur, Ja’far sebagai pahlawan muda secepat kilat mengambil alih komando panglima pimpinan perang. Setelah melawan kepada pihak musuh Ja’far pun di panggil oleh yang Maha Kuasa, bendera selanjutnya di lanjutkan oleh Abdullah bin Rawahah. Beliau pun gugur di medan peperangan. Hingga akhirnya di pimpin oleh Khalid bin Walid

Peperangan Muktah merupakan peristiwa yang amat mengharukan bagi pasukan Islam; tiga pahlawan Islam gugur di tengah-tengah pertempuran sesudah masing-masing memimpin pasukan Islam yang jumlahnya tidak seimbang tersebut. Jumlah tentara Islam adalah 3000 orang. Dan pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu orang dari Nashara Arab.

0 komentar:

Posting Komentar