(Analisa Akurat Mengapa Terjadi Serangan WTC 11 September 2001)
Oleh: Z.A. Maulani
(Mantan Kepala Badan Intelijen Negara/KABAKIN)
Pendahuluan
Pada bagian kedua makalah ini, diturunkan kutipan tulisan dari Michael Meacher, mantan Menteri Lingkungan Hidup dalam Kabinet Tony Blair dari Mei 1997 sampai Juni 2003 (6 tahun). Meacher menurunkan segenap pengetahuannya dalam sebuah kolom 'This War on Terrorism is Bogus', di koran Guardian, London, edisi 6 September 2003, dalam rangka memperingati dua tahun kejadian 11 September 2001, yang oleh mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohammad disebut sebagai "musibah (fitnah) yang sempurna atas kaum muslimin".
Sedang pada bagian ketiga adalah hasil wawancara wartawati Margaret Neighbour dari koran The Scotsman, dengan artikel, 'Bush Admits He Wanted Regime Change Before 11 September' (Bush Mengakui Ia Memang Menginginkan Penumbangan Rezim Sebelum 11 September 2001), yang terbit pada tanggal 13 Januari 2004, yang diilhami oleh buku Paul O'Neill "The Price of Loyalty" (2003).
Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah
Tanpa ambil pusing untuk melakukan pembuktian tuduhannya, dengan dalih "perang membasmi terorisme", Amerika Serikat menempatkan kaum muslimin di seluruh dunia menjadi sasaran pendzaliman. Afghanistan, negeri muslim yang miskin, diratakan jadi arang dengan "carpet bombing", karena dosa Afghanistan "menampung kelompok teroris Al Qaidah". Publik dipaksa untuk melupakan kenyataan bahwa yang mendukung Al Qaidah, melatih dan membiayai, dan menempatkan mereka di Afghanistan sejak tahun 1979, adalah Amerika Serikat sendiri, persisnya Central Intelligence Agency (CIA), dalam rangka memerangi Uni Sovyet di negeri miskin tersebut.untuk menyerang Afghanistan, Iraq dan 'perang membasmi terorisme
(FBI photos of the 19 Terrorists hijackers (16 of 19 had Saudi Passports)
Cerita tentang 19 orang "teroris Islam" Al-Qaidah yang oleh intelijen Amerika Serikat disebut-sebut berhasil menyusup dan menguasai pesawat dan menghunjamkannya ke gedung-kembar WTC itu, kini seluruhnya ternyata cerita isapan jempol, yang digunakan untuk menghasut kecurigaan terhadap kaum muslimin sedunia tanpa kecuali, termasuk terhadap kaum muslimin di Indonesia. Nama Muhammad Atta, Marwan Al-Sehhi, dan Hani Hanjour, yang konon dikatakan sebagai para pilot berkebangsaan Saudi yang berhasil membajak, kemudian mengemudikan dan menabrakkan pesawat-pesawat Boeing 767 ke gedung-kembar WTC di New York dan Pentagon di Washington DC., menurut Marcel Bernard, instruktur pada pusat pendidikan penerbangan dimana ketiga "pilot" itu pernah menjalani latihan mereka, konon dikatakan, jangankan menerbangkan pesawat jet berbadan lebar dan canggih seperti Boeing-767, mereka itu untuk menerbangkan pesawat kecil tipe Cessna 172 saja secara solo, oleh para instukturnya dinilai tidak mampu ("... they had received pilot training . with courtesy of the CIA (?) . but were considered by their flying instructors to be incompetent to fly even light single-engine planes") (Ibid.)
Para analis yang meneliti kasus peristiwa serangan dan hancurnya gedung kembar WTC itu mencurigai pesawat-pesawat nahas itu kemungkinan dikemudikan dengan alat 'remote control' dan diledakkan secara otomatis dengan alat yang memang telah terpasang pada setiap pesawat komersial oleh aparat keamanan penerbangan federal sebagai tindakan berjaga-jaga menghadapi kemungkinan kontinjensi bilamana sewaktu-waktu pesawat dibajak.
Kesimpulan itu makin memperkuat analisis bahwa serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC., melibatkan "orang dalam", yang mencakup personel angkatan udara Amerika Serikat, Pentagon, CIA, dan Mossad.
Pentagon setelah ditabrak pesawat (hoax) American Airlines Flight 77
Bersamaan dengan itu para ahli demolisi Amerika juga menengarai gedung WTC New York tersebut tidak mungkin akan runtuh sedemikian rapi tanpa merusak gedung-gedung di sekitarnya sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah Amerika Serikat, yaitu disebabkan oleh tabrakan pesawat. Bila hanya oleh tabrakan pesawat, para ahli demolisi itu menyimpulkan gedung-kembar WTC itu sebagian masih akan tersisa, meskipun mereka mempercayai gedung-kembar berlantai 110 setinggi 415 meter itu telah didesain dan dibangun oleh para arsitek Minoru Yamasaki, John Skilling, dan Leslie Robertson sebagai bangunan tahan gempa, tahan tornado, dan diilhami novel Tom Clancy yang mengisahkan hancurnya sebuah gedung pencakar langit karena ditabrak oleh sebuah pesawat teroris, maka ketiga arsitek kondang itu mendesain gedung-kembar WTC juga tahan tabrakan pesawat.
Menurut para ahli demolisi itu, cara runtuhnya dan habisnya gedung-kembar WTC itu memperlihatkan ciri-ciri, apa yang mereka sebut 'controlled demolition' dari dalam, oleh orang-orang yang paham benar tentang konstruksi bangunan WTC, dengan memakai teknik yang digunakan untuk menghancurkan gedung-gedung tua tanpa perlu membahayakan lingkungan di sekitarnya. Gedung Pentagon yang konon disebut-sebut ditabrak pesawat Boeing 767 juga tidak memperlihatkan adanya puing-puing pesawat, atau isi perut pesawat yang berserakan berupa barang-barang penumpang dan sebagainya sebagaimana layaknya bila ada pesawat yang jatuh. Pendek kata, semua itu dalam bahasa Amerika, cerita tentang ulah teroris Arab itu, "too good to be true" (Ibid.)
Hasil dari Komisi Penyelidikan Gabungan Kongres (Joint Congress Inguiry) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Juli 2003 baru-baru ini menyatakan, penyelidikan mereka tiba pada kesimpulan . "tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dengan Al Qaidah, dan tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dengan peristiwa serangan tanggal 11 September 2001". Nasi telah menjadi bubur Iraq sejak 19 Maret 2003 telah menjadi negeri jajahan Amerika.
Perang Membasmi Terorisme Hanya Omong-Kosong *
Cetak-biru dari PNAC itu mendukung dokumen sebelumnya yang dipersiapkan oleh Paul Wolfowitz dan Libby Lewis, 'To Rebuild America's Defense', yang menyatakan, Amerika Serikat harus "mencegah negara-negara industri maju sampai menantang kepemimpinan kita atau bahkan mencita-citakan untuk menjalankan peran regional atau global yang lebih besar". Dokumen itu menjelaskan tugas-tugas pemeliharaan perdamaian dunia "menuntut kepemimpinan politik Amerika Serikat ketimbang kepemimpinan PBB".
Dokumen itu juga menyerukan perlunya pembentukan "kekuatan ruang angkasa" untuk mendominasi ruang-angkasa, dan penguasaan mutlak atas ruang-cybernet dalam rangka mencegah "musuh-musuh Amerika" memanfaatkan internet terhadap kepentingan Amerika Serikat. Dokumen itu kemudian menyarankan agar Amerika Serikat mempertimbangkan untuk mengembangkan senjata kuman "yang dapat menyerang sasaran jenis gen tertentu (dan) barangkali dapat mengubah peperangan kuman dari senjata teror menjadi alat politik yang bermanfaat".
Akhirnya, dokumen yang disiapkan setahun sebelum peristiwa 11 September 2001, menunjuk Korea Utara, Suriah, dan Iran, sebagai rezim yang berbahaya . 'axis of evil' . dan menyatakan adanya rezim-rezim itu membenarkan akan kebutuhan "sistem komando dan kendali yang mendunia". Dokumen itu benar-benar memuat cetak-biru penguasaan dunia oleh Amerika Serikat. Namun sebelum dokumen itu kita tepis sebagai mimpi fantasi kaum sayap kanan yang sebagian besarnya orang Yahudi, dokumen itu secara jelas menjadi sumber keterangan yang baik tentang apa sebenarnya yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah 11 September 2001 tentang thesis perang global terhadap terorisme yang digembar-gemborkan selama ini. Hal ini akan terlihat dengan gamblang dalam beberapa tahun mendatang ini.
Pertama, sudah jelas para pejabat berwenang Amerika Serikat sama sekali, atau tidak banyak bertindak, untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001. Telah diketahui paling tidak ada 11 negara yang pernah memberikan peringatan dini kepada pemerintah Amerika Serikat tentang akan adanya serangan pada tanggal 11 September 2001.
Yang lebih aneh lagi dilihat dari kaca-mata perang terhadap terorisme pada hari dimana terjadi serangan 11 September 2001 itu, tampak reaksi yang sedemikian lambannya dari pemerintah dan pejabat berwenang Amerika Serikat. Pembajakan pesawat pertama diduga terjadi pada pukul 08.20 pagi, dan pesawat bajakan terakhir yang jatuh di Pennsylvania pada pukul 10.06 pagi. Terhadap kenyataan tersebut tidak satu pun pesawat buru-sergap yang menyambang dari pangkalan angkatan udara Andrews, yang jauhnya hanya 15 kilometer dari ibukota Washington DC., sampai pesawat ketiga menabrak Pentagon pada pukul 09.38 pagi. Mengapa tidak pernah ada reaksi? Ada prosedur standar dari FAA (Federal Aviation Agency, Badan Penerbangan Federal AS) keharusan menyergap setiap pesawat yang dibajak. Antara bulan September 2000 sampai dengan bulan Juni 2001 saja tidak kurang dari 67 kali pesawat-pesawat buru-sergap dari NORAD (Komando Pertahanan Uara Amerika Utara) menyergap dan menggiring pesawat-pesawat yang mencurigakan, atau terbang melenceng dari jalur terbang yang telah ditetapkan. (AP, August 13, 2002)
Mantan jaksa federal Amerika Serikat, John Loftus, mengatakan, "Informasi yang disampaikan oleh badan-badan intelijen Eropa sebelum tanggal 11 September 2001 demikian luasnya, sehingga sebenarnya tidak mungkin FBI atau pun CIA berlindung di belakang dalih bahwa hal itu sampai bisa terjadi karena ketidak-mampuan mereka".
Juga tanggapan pemerintah Amerika Serikat terhadap peristiwa 11 September 2001 tidaklah lebih baik. Tidak telihat ada usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah Amerika Serikat untuk menangkap Osamah bin Ladin. Pada akhir bulan September atau awal Oktober 2001 pimpinan dari dua partai Islam Pakistan telah merundingkan ekstradisi Osamah bin Ladin ke Pakistan untuk diadili sehubungan dengan kasus 11 September 2001. Namun seorang pejabat pemerintah Amerika Serikat dengan ketus berucap, "Tindakan sembrono dapat menimbulkan resiko buyarnya usaha internasional sekiranya Osamah bin Ladin sampai tertangkap".
Tidak satu pun dari bukti-bukti yang terkumpul ini, yang semuanya berasal dari para pejabat pemerintah sendiri, seperti gemuruhnya gembar-gembor tentang "perang membasmi terorisme".
Daftar bukti itu sesuai benar dengan cetak-biru dari PNAC. Dari gambaran di atas tadi nampaknya apa yang disebut "perang membasmi terorisme" itu digunakan sebagian besar hanya sebagai isapan jempol untuk menutupnutupi tujuan strategis geopolitik Amerika Serikat yang sesungguhnya. Tony Blair sendiri tentang hal itu mengisyaratkan ketika ia memberikan kesaksian di depan Komisi Hubungan Majelis Rendah Inggris, "Sejujurnya saja, kita tidak akan mungkin memperoleh persetujuan rakyat secara mendadak untuk melancarkan kampanye militer di Afghanistan, terkecuali dengan mengkaitkan alasannya dengan apa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001" (Sk. The Times, London, Juli 17, 2002).
Peristiwa 11 September 2001 menciptakan dalih yang sangat pas bagi pelaksanaan rencana PNAC. Bukti yang kini terungkap sangat jelas bahwa rencana tindakan militer atas Afghanistan dan Iraq, bahkan negara-negara di Timur Tengah lainnya, telah dirancang jauh sebelum terjadi peristiwa 11 September 2001. Sebuah laporan yang disiapkan untuk pemerintah Amerika Serikat oleh Baker Institute of Public Policy yang diterbitkan pada bulan April 2001 menyatakan, "Amerika Serikat terperangkap oleh dilemma enerjinya. Iraq menjadi faktor yang berpengaruh mendestabilisasi ... aliran minyak ke pasar-pasar internasional dari Timur Tengah".
Dokumen itu diserahkan kepada kelompok tugas untuk penanggulangan enerji pada kantor wakil presiden Dick Cheney, laporan itu merekomendasikan, bahwa bila aliran minyak itu sampai terganggu, maka hal itu akan dapat menjadi resiko yang tidak bisa dipikul oleh pemerintah Amerika Serikat, karena itu "intervensi militer" adalah sesuatu yang diperlukan (Tabloid Sunday Herald, October 6, 2002).
Dengan latar-belakang semacam ini, tidaklah mengagetkan bila beberapa kalangan memahami mengapa Amerika Serikat tidak terlalu bergairah mencegah terjadinya peristiwa 11 Septeber 2001 yang memang diciptakan sebagai dalih yang dianggapnya paling pas untuk menghukum Afghanistan dalam sebuah perang yang telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya.
Cetak-biru PNAC yang disiapkan pada bulan September 2000 menegaskan bahwa proses mentranformasi Amerika Serikat menjadi "kekuatan masa depan yang dominan" hanya bisa terjadi dalam tempo yang lama, kecuali bilamana ada "suatu bencana dan peristiwa yang menjadi katalisator layaknya sebuah Pearl Harbour yang baru". Serangan pada 11 September 2001 memungkinkan pemerintah Amerika Serikat menekan tombol "go" melaksanakan strategi sesuai agenda PNAC yang secara politik yang normal mustahil bisa diimplementasikan.
Inggris juga tidak lepas dari ramai-ramai ikut keroyokan untuk menguasai cadangan hidro-karbon dunia yang masih tersisa, dan hal ini menjelaskan sebagiannya mengapa Inggris dengan bersemangat mendukung aksi-aksi militer Amerika Serikat di Asia Tengah dan Timur Tengah. Lord Browne, bos BP (dulu namanya British Petroleum, sekarang berganti menjadi "Beyond Petroleum", karena Inggris untuk kebutuhan masa depannya tidak hanya membutuhkan minyak, tetapi juga gas bumi, batu-bara, dan apa saja yang dapat dijadikan substitusi enerji minyak bumi), memperingatkan Washington agar jangan mengangkangi Iraq hanya untuk perusahaan-perusahaannya sendiri bila Perang Iraq berakhir (Sk. The Guardian, London, October 30, 2002). Ketika menteri luar negeri Inggris menemui Kolonel Ghaddafi di khaimahnya di Lybia pada bulan Agustus 2002, ia dilaporkan berkata, "Inggris tidak menghendaki kalah dengan negara-negara Eropa lainnya yang tengah berebut bilamana saatnya tiba untuk mendapatkan kontrak pembagian ladang-ladang minyak yang menjanjikan keuntungan besar" dengan Lybia (BBC Online, August 10, 2002).
Kesimpulan dari seluruh analisis yang diangkat dari artikel tulisan mantan Menteri Lingkungan Hidup Inggris Michael Meacher di atas ialah bahwa apa yang disebut sebagai "perang global untuk menghabisi terorisme" mengusung ciri-ciri sebuah mitos politik yang diprogandakan untuk melicinkan jalan bagi sebuah agenda yang lain sama sekali yakni, aspirasi Amerika Serikat untuk membangun hegemoni mendunia, dilakukan dengan cara kekerasan dalam rangka menguasai segenap pasokan minyak dan gas bumi yang dibutuhkan bagi hegemoninya tersebut. *(Michael Meacher, 'This War on Terrorism is Bogus', kolom yang ditulisnya dalam koran The Guardian, London, edisi September 6, 2003)
Presiden Bush Mengakui Merancang Invasi ke Afghanistan dan Iraq Jauh Sebelum Peristiwa 11 September *
Mantan Menteri Keuangan dan Ketua Tim Ekonomi pemerintahan Bush, Paul O'Neill, pada awal tahun 2004 menulis sebuah buku memoar, 'The Price of Loyalty', tentang masa jabatannya dalam pemerintahan George W. Bush. Tidak terlalu mengejutkan ketika ia menyebut bahwa Presiden Bush telah mengeluarkan berbagai perintah kepada anggota dewan keamanan nasionalnya nyaris begitu ia dilantik pada bulan Januari 2001 (kurang lebih delapan bulan sebelum erjadinya peristiwa 11 September 2001 yang dijadikan alasan untuk menghancurkan Afghanistan dan menjajah Iraq) agar mengambil apa yang disebutnya "tindakan" yang perlu.
Ternyata perintah itulah yang kemudian dijual kepada publik Amerika dan dunia sebagai "tindakan balasan" terhadap para "teroris" dan "negara-negara yang membahayakan" keamanan nasional Amerika. Dalam kesempatan wawancara Paul O'Neill dengan koresponden teve CBS, Lesley Stahl, dalam acara 60 Minutes pada tanggal 11 Januari 2004 mengulang kembali pernyataannya berkenaan dengan perintah Presiden Bush untuk menggulingkan Saddam Hussein sebagai prioritas pertama kebijakan nasional Amerika jauh sebelum peristiwa 11 September 2001.
Menurut Paul O'Neill, dalam sidang tersebut Bush menyatakan, "Dari awal kita meyakini Saddam Hussein itu orangnya jahat, karenanya ia harus dienyahkan". Presiden Bush selanjutnya menegaskan, "Bagi saya, berdasarkan pemahaman tentang tindakan pre-emptif, Amerika Serikat memiliki hak unilateral untuk memutuskan apa saja yang dianggap perlu, hal itu merupakan lompatan besar".
Ternyata atas tuduhan yang dicoba diredam oleh para pejabat Gedung Putih, oleh Presiden Bush malah diakui sendiri ketika bertemu dengan Presiden Mexico Vincente Fox pada tanggal 12 Januari 2004. Kata Bush, "Seperti halnya pemerintahan sebelum saya, kami memang bertekad untuk menggulingkan rezim (Saddam Hussein)... Kami hanya menyempurnakan kebijakan sebelumnya, dan kemudian peristiwa 11 September terjadi, dan sebagai Presiden Amerika Serikat, kewajiban saya yang paling mulia adalah bagaimana melindungi keamanan bagi rakyat Amerika. Saya memikul tugas itu dengan sangat sungguh-sungguh dan kami bukan hanya berurusan dengan Taliban, kami bekerja-sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan masyarakat internasional, dan membuat jelas Saddam Hussein harus dilucuti". Ketika ia ditanya bahwa Amerika Serikat justeru melucuti Saddam tanpa menggubris peringatan dari dunia internasional, Bush menjawab, "Bukankah sekarang ia sudah tidak lagi berkuasa dan dunia kini merasa lebih aman".
Paul O'Neill menyamakan sidang kabinet Presiden Bush laksana "orang tuli dalam ruangan yang penuh dengan orang tuli". Kecaman Paul O'Neill memang membuat kaget Washington yang selama ini menyangka orang-orang dekat Bush terdiri dari mereka yang kesetiaannya kepada Bush tidak diragukan. O'Neill diberhentikan pada bulan Desember 2002 sebagai dalam rangka reshuffle tim ekonomi yang berbeda pendapat mengenai kebijakan ekonomi yang dijalankan Presiden Bush (Margaret Neighbour, 'Bush Admits He Wanted Regime Change Before 11 September', The Scotsman, January 13, 2004).
KesimpulanApa yang selama ini menjadi keragu-raguan telah dibuat jelas oleh berbagai tokoh dan Joint Senate Investigation Commission, bahkan oleh Presiden Bush sendiri yang menjadi sumber kemelut yang berasal dari pernyataannya sendiri "perang membasmi terorisme", bisnis minyak dan terorisme oleh sebuah negara yang mengklaim diri sebagai imperium dunia yang baru, ternyata saling berkait satu dengan lain seperti benang dengan kelindannya. Bagi kalangan yang selama ini membuta-tuli mengekor kepada Bush karena takut dengan ancaman "If you're not with us, you're against us", atau mereka yang memanfaatkan kesempatan untuk menangguk di air keruh, melalui berbagai sumber yang merupakan tokoh-tokoh negara dari Inggris dan Amerika Serikat sendiri yang sepenuhnya dapat dipercaya, kini menjadi jelas, bahwa selama ini Dunia Islam dan kaum muslimin hanyalah menjadi korban fitnah dari suatu persekongkolan yang keji.
Artikel ditulis oleh ZA Maulani dalam bedah buku Stranger than Fiction, Independent Investigation of 9-11 and The War on Terrorism karya DR. Albert D. Pastore, Ph.D. pada tanggal 8 April 2004 di musholla Al Barokah Gd. Cyber. Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 1271018
0 komentar:
Posting Komentar