Kamis, 28 Juli 2011

Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepenggalan



Dahulu kala, pernah ada seorang laki-laki yang ibunya telah tua renta. Istrinya selalu mengomelinya, “Aku muak melihat ibumu. Kamu harus memilih antara dia dan aku. Jika kamu lebih menyukainya, aku akan pergi.”

Suaminya, laki-laki malang itu, bertanya kepada istrinya dengan nada memelas, “Apa yang harus aku lakukan? Bila aku tidak merawat ibuku sendiri, siapa lagi yang akan melakukannya?”

Sang istri tetap bersikeras dengan pendapatnya. Setelah memikirkan masalah ini, akhirnya muncullah ide bahwa sang suami memutuskan untuk membawa ibunya ke sebuah gunung dan meninggalkannya di sana. Ia menyiapkan keretanya seolah-oleh hendak mengajak anak kecilnya jalan-jalan, lalu ia memanggil ibunya yang tua renta, “Aku akan pergi ke gunung dengan anakku. Maukah ibu ikut? Udara di sana baik untuk ibu.”

Maka, pergilah mereka bertiga ke gunung yang dimaksud. Tanpa tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, sang ibu berbicara dengan cucunya dan berbagi keceriaan bersamanya sepanjang perjalanan itu. Akhirnya, mereka sampai di hutan yang sunyi. Si anak laki-laki menggelar tikar di tanah, lalu mempersilakan ibunya untuk tiduran, serta menyiapkan makanan kecil dan minuman di sampingnya.

“Istirahatlah di sini, Bu,” ujar sang anak, “Kami akan mencari kayu bakar untuk Ibu.”

Tak sadar apa yang telah terjadi padanya, sang ibu ditinggal sendirian dalam keadaan bingung. Akan tetapi, beberapa jam kemudian, tanpa ada orang yang menolongnya, ia mengerti mengapa dirinya dibuang di sini. Matanya berlinang air mata. Ia merasa sedih, tetapi apa dayanya? Apa yang bisa diperbuat oleh orang tua renta sepertinya di tempat sepi yang jauh dari keramaian ini?

Sementara itu, si anak laki-laki dan cucunya berkereta pulang ke kampungnya, serta membiarkan ibunya sebatang kara menunggu ajalnya.

“Mengapa kita meninggalkan nenek di tempat yang sepi itu, Ayah? Apakah kita akan menjemputnya nanti?” tanya si anak.

Sang ayah menjawab, “Ia sudah uzur. Biarkan ia tinggal di sana sekarang.”

Jawaban ini tidak memuaskan anak kecil yang tak berdosa itu.

“Tapi, mengapa?” tanya si anak, kemudian ia menangis seraya merengek, “Aku ingin bertemu nenek!”

Sang ayah membentak anak kecil itu, “Ia sudah terlalu tua, makanya ia harus hidup di sana!”


Akan tetapi, si anak lantas menyadarkannya dengan kata-kata, “Baiklah, ketika aku kelak dewasa, ayah menjadi tua dan lemah seperti nenek. Kala masanya tiba, haruskah aku juga meninggalkan Ayah di gunung sendirian, sebagaimana Ayah telah meninggalkan nenek?”

Sadar bahwa dirinya telah berbuat dosa besar, sang ayah akhirnya kembali ke gunung sembari menangis. Ia masih menemukan ibunya berada di tempat sebelumnya. Ia pun berlutut di hadapannya. Ibunya yang tua itu mengusap kepalanya dan berkata, “Jangan menangis anakku. Aku dulu tidak meninggalkan ibuku di gunung, jadi bagaimana mungkin Allah akan membuatmu meninggalkanku di sini seorang diri?”

***

Sahabat yang besar cintanya…

Mari kita renungkan bersama:

~ bisakah kita ada di dunia ini jika bukan melalui perantara seorang ibu?

~ bisakah kita hidup sampai saat ini jika ibu menelantarkan kita ketika kita baru lahir ke dunia ini?

~ bisakah kita merasakan nikmatnya dunia jika ibu tidak memelihara kita?

~ siapakah yang telah mengandung, menyusui, dan membesarkan kita dengan penuh cinta dan kasih?

~ siapakah orang yang telah rela mengorbankan kesenangan dirinya untuk kita sebagai anak-anaknya?

~ siapakah yang mau meluangkan waktu malam-malam hanya untuk mengganti popok kita?

~ siapakah yang mau mengelus kepala kita saat kita sedih?

Dan masih banyak lagi pertanyaan yang semua jawabannya adalah IBU.

0 komentar:

Posting Komentar