Hari ini genap 36 tahun usiamu sayang,genap 9 tahun pula aku mengenalmu,saat itu usiaku belum genap 21 th,dan seperti umumnya wanita muda, rasanya persiapan "fisik" terasa lebih penting bagiku, dari pada pembekalan "mental" yang diberikan oleh Ibuku menjelang pernikahan.
Ah... betapa naifnya aku saat itu, menganggap bahwa aku sudah kenal betul karakter calon suami hanya karena kami merasa sudah saling mengenal lama sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.
Sejak satu tahun sebelum menikah, setelah diadakannya pertemuan antar dua keluarga inti, setiap aku hendak melangkahkan kaki keluar rumah, Ibu selalu bertanya, "dewi, sudah kasih tau mas mu kalau mau pergi?"
Sungguh saat itu,pertanyaan itu selalu membuatku risih. "Kenapa sih, Bu? Jadi suami aja belum... kok ribet banget sih..." protesku gusar. lalu ibu berkata "Karena semua pembelajaran perlu proses. Haram langkah seorang istri keluar rumah tanpa izin suami,dewi akan kaget nanti, dan pasti akan sering lupa meminta izin, kalau baru menerapkannya setelah menikah."
Mengingat percakapan yang terjadi berulang kali dan sepanjang tahun itu, sungguh membuatku sangat bersyukur memiliki seorang Ibu yang tidak pernah putus asa mendidik putri sulungnya yang tidak mengerti apa-apa ini.
Saat itu, "Suami ideal" bagiku adalah suami yang bisa berkomunikasi dengan baik, tegas, bisa menghargaiku, mencintai orang tua dan keluargaku, mau bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak, bla bla bla... segala hal positif lainnya.
Namun setelah menikah, aku menemukan kenyataan bahwa pernikahan ternyata tidak sesederhana anggapanku sebelumnya, dan suami yang telah lama ku kenal, ternyata tidak semudah itu dimengerti karakternya.Hari demi hari berlalu, satu demi satu, kekurangan suami muncul di depan mataku. Saat itu,aku pun menjadi bingung... dan kecewa...
Di tahun-tahun awal pernikahan kami, kata adil dalam kamusku adalah satu-satu, aksi-reaksi, jika aku bisa maka kamu juga seharusnya bisa, jika kamu tidak suka maka demikian juga aku... Dan berbagai kata "Mengapa" bermunculan saat aku mempelajari dengan setengah hati bagaimana menjadi istri shalihah, Astaghfirullah... semoga Allah mengampunkan prasangka burukku dulu....
"Dewi, jangan kamu lihat kekurangan suamimu... lihat kelebihannya saja..." nasehat Ibu kepadaku.
"Dewi, belajarlah untuk ikhlas. Ikhlas berarti kamu bisa menerima semua kekurangan suami tanpa ada kata,"tapi". Jadikan pernikahan kamu sebagai ibadah..." ucapan ibu, mencoba mengetuk hatiku.
Tahun demi tahun kami lalui... Aku pun membuktikan bahwa berada di lingkungan yang positif mempengaruhi kita untuk berpikiran positif juga. Berada di lingkungan kerja dan lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi mahligai pernikahan membuatku tidak gampang menyerah saat menemukan perbedaan prinsip dalam beberapa aspek kehidupan kami.
Wejangan tak putus dari Ibu, yang selalu memintaku mengoreksi diri sendiri sebelum menyalahkan suami, membuat mataku mulai terbuka, betapa aku pun tidak sempurna sebagai seorang pribadi, istri dan ibu kelak nantinya. Jadi pantaskah jika aku menuntut suamiku berakhlak seperti Rasulullah jika aku sendiri tidak berakhlak seperti Ibu Khadijah? Sebagai istri,aku masih kurang mengabdi (jauh sekali jika dibandingkan dengan pengabdian Ibuku kepada ayah).
Sebagai istri, di saat lelah aku terkadang menjadi kurang sabar. Masih banyak lagi kekurangan dan kesalahan yang pernah aku perbuat, yang mungkin jika ku tulis satu per satu akan membuat penuh lembaranbuku dosaku. Namun suamiku menerima hal itu, dan tidak melemparkan kritik sama sekali kecuali jika aku sudah keterlaluan.
Aku pun mulai belajar menjadi orang yang tau sesuatu tanpa diberitahu secara lisan dengan mulai mempelajari reaksi suamiku,expresi wajah, sorot mata, garis mulut,bahasa tubuhnya dan dari berbagai kejadian.
Setelah mulai memahami, barulah aku menyadari, bahwa suamiku tidak mau mendebatku justru karena cinta, karena dia tidak ingin menyakiti hatiku dengan kata-kata...
Tidak adanya kritikan dan protes keras yang dia sampaikan atas sifat-sifatku yang mungkin tidak berkenan di hatinya belum tentu karena dia tidak apa-apa, melainkan karena dia ingin aku berubah atas kesadaranku sendiri,bukan karena terpaksa.
Akhirnya aku mengerti, bahwa dengan diamnya, suamiku menunjukkan toleransinya, dan dengan maaf yang dia berikan atas kesalahan-kesalahan yang ku perbuat, suamiku menunjukkan cintanya...
Teman-teman pria di sekelilingku dan teman-teman wanita disekeliling suamiku pun menjadi penguji kekuatan cinta kami...membuktikan bahwa cinta memang harus terus dipelihara, dipupuk dan diperjuangkan. Berpulangnya buah cinta kami yang belum sempat lahir kedunia pun menjadi penguat cinta kami, sekaligus membuktikan bahwa kami memang benar-benar saling membutuhkan, kami butuh saling menguatkan.. .
Aku mulai belajar untuk selalu memperbaiki diri, meskipun perlahan dan rasanya tidak akan pernah sepenuhnya berhasil jika mengingat tidak ada manusia yang sempurna.
But at least,aku terus berusaha, meski tidak mudah, dan dengan diiringi doa, tanpa meributkan siapa yang salah, mulai dari diriku sendiri, dan tanpa menunggu apalagi meminta suamiku melakukan perubahan terlebih dahulu, karena aku percaya Allah maha membolak-balikkan hati. Insya Allah, suamiku akan tergerak hatinya jika melihat aku sungguh-sungguh ingin memperbaiki diri, dan bukan mustahil dia akan melakukan hal yang sama.
Aku pun mulai belajar melihat kelebihan suamiku, mengingat semua hal yang dulu membuatku jatuh cinta padanya,
Pada kegigihannya mendapatkan cintaku, meskipun dia tidak piawai menyatakannya dengan kata-kata langsung. Pada usahanya memperjuangkan hubungan cinta kami, pada rasa sayang dia kepada orang tua dan keluargaku, pada waktu yang selalu dia luangkan untuk ku, pada kemampuannya menjadi teman dan sahabat bagiku dan bagi setiap anggota keluarga besarku... pada usahanya yang tak kenal putus untuk membahagiakanku meskipun dengan caranya sendiri. Dan... masih banyak lagi.
Subhanallah... ternyata sungguh banyak kelebihan suamiku jika aku berniat menggalinya, sehingga kekurangannya tidak lagi terasa berarti....
Tiga tahun terakhir ini, aku mulai belajar melihat pernikahan sebagai ibadah. Bagaimana memahami dan mengurus suami serta mendidik anak-anak kami kelak merupakan ladang amal yang luas bagi seorang istri dan ibu.
Lewat perjalanan yang cukup panjang, meskipun bukan mendapatkan pencerahan dari pengajian dan hanya merupakan visiku, tapi pribadiku mulai memahami arti Allah menciptakan manusia berpasangan. Bukan hanya jenis kelamin, tapi juga sisi kelebihan dan kekurangannya....
Seperti dalam pernikahan kami, semua kekurangan suami aku lengkapi dengan kelebihanku, sebagaimana dia melengkapi banyak kekuranganku dengan kelebihannya. Terbayang olehku, jika suamiku mampu mengerjakan semuanya sendiri, untuk apa lagi ada aku? Pasti akan sangat menyedihkan menjadi orang yang tidak dibutuhkan....
Lewat introspeksi diri yang panjang pula,akhirnya aku mengambil hikmah pribadi betapa Rasulullah menganggap pentingnya komunikasi antar suami istri.Karena jika komunikasi suami dan istri sangat baik, suami istri saling memahami dan terbiasa berkompromi, rasanya tidak akan mungkin suami tidak memberikan izin langkah seorang istri selama disampaikan secara santun, untuk tujuan yang baik dan tidak mengabaikan tugas istri yang lebih utama.
Aku pun jadi berpikir, jika pergi keluar rumah tanpa izin suami tidak diharamkan, akankah aku berusaha mati-matian untuk mengenal, memahami dan berkomunikasi efektif dengan suamiku?Mungkin tidak, karena toh tidak berdosa jika aku pergi tanpa izinnya. Namun, karena hal tersebut diharamkan, yang berarti aku berdosa jika pergi keluar rumah tanpa izin, pastinya aku akan berusaha mencari jalan bagaimana agar halal langkahku, agar tidak bertambah buku dosaku. Akibat usaha tersebut, suamiku pun benar-benar menjadi belahan jiwaku.
Akhirnya aku pun juga harus mengakui betapa adilnya Islam terhadap wanita... Karena meskipun terasa berat tugas dan tanggung jawab seorang istri di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat nanti dia hanya menanggung dirinya sendiri.
Sedangkan meskipun terlihat enak menjadi suami di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat justru paling berat tanggung jawabnya karena suami berkewajiban membimbing anggota keluarganya – istri dan anak-anaknya – sehingga baik buruknya akhlak istri dan anak-anak tidak lepas dari tanggung jawab suami pula.
Pun begitu banyaknya ladang amal bagi seorang wanita. Melahirkan sebagai jihad, mengurus suami dan anak sebagai jihad... sedangkan laki-laki harus pergi keluar untuk membela agama dulu baru terhitung jihad....
Well,aku hidup di dunia hanya sementara kan? Jadi, mengapa seolah hidup hanya mempermasalahkan beban berat seorang istri di dunia sedangkan di depan mata terhampar ladang amal yang luas untuk bekal hidup di akhirat kelak.
Mungkin sebenarnya perjuanganku akan lebih sederhana jika saja aku datang kepada ahli agama. Karena semua aturan dan bagaimana hubungan yang baik dalam rumah tangga, sudah di riwayatkan melalui contoh-contoh dalam hadist Rasulullah.
Namun karena segala keterbatasan diriku, aku harus menempuh jalan yang panjang, dengan jatuh bangun pula.... Bagaimanapun sulitnya, alhamdulillah, semua itu aku anggap sebagai sarana pendewasaan diriku....
Sejak tiga tahun yang lalu, Alhamdulillah, aku mulai belajar untuk ikhlas... Mengurus rumah tangga dan kelak mendidik anak pun sudah menjadi suatu kenikmatan bagiku, semula hanya karena mengingat nilai ibadahnya, dan akhirnya juga karena bahagia mengerjakan prosesnya dan melihat hasilnya.
Dulu, jika ada tugas rumah tangga yang aku kerjakan yang seharusnya merupakan porsi tugas suami, terkadang aku berkata, "Aku
ikhlas kok mengerjakannya, tapi kan seharusnya suamiku bisa mengerjakan itu..." (yang benar kata ibuku bahwa adanya kata "tapi" itu pertanda jauh di dalam lubuk hatiku belum ikhlas).
Saat ini, Alhamdulillah, jika ada yang bertanya, aku sudah bisa hanya berkata, "Ya, aku ikhlas mengerjakannya." sambil tersenyum pula.
Tulisan ini aku persembahkan untukmu, suamiku tercinta, yang aku berikan dengan niat sebagai hadiah ulang tahunmu di hari ini 6 juli 2011.
Aku tulis ini sebagai perwujudan cinta dan rasa syukurku karena memiliki suami yang pemaaf dan penuh cinta... suami yang karena karakternya membuatku belajar banyak untuk dunia dan akhiratku...
Meskipun mungkin kelak masih akan ada ujian dari Allah bagi cinta kita – semoga Allah selalu menyelamatkan bahtera rumah tangga kita – saat ini izinkan aku nyatakan pada dunia bahwa aku mencintaimu seutuhnya, karena Allah semata...
Semoga tulisan ini bisa menjadi manfaat bagi semua yang membaca, terutama bagi yang akan menikah, bahwa memasuki ambang pernikahan bukan dengan niat utama untuk ibadah akan menghasilkan banyak kekecewaan.. .
Pun, bagi yang sudah dan masih menikah, tidak ada kata terlambat untuk mulai menjadikan pernikahan sebagai sarana menuju surga di samping sebagai surga dunia....
Wahai suamiku..
Demi ALLAH, jika saja cinta kepada makhluk menjadi junjungan tertinggi dari tiap hamba, maka ketundukan dan sujud ini ku hibahkan padamu.
Namun, demi ALLAH, setinggi-tingginya cinta adalah untuk Rabb-ku karenanya.. ajarkanlah aku mencukupi diri dengan muhabbah sebaik-baiknya muhabbah pada ALLAH yang telah mempertemukan kita dan Rasul sebagai tauladan tertinggi kita, agar dapat kucintai kau dengan makna cinta yang paling tinggi, yakni karena ALLAH dan untuk mendekati ALLAH.
Jika kecantikan duniawi di atas segalanya, maka demi ALLAH, akan kukejar sedaya upaya meraih indah dunia ini untuk membuatmu terbius oleh keelokanku. Kupenuhi detik hariku dengan berbagai warna gincu dan celak mata,baju,perhiasan dan tubuh aduhai.
Namun, demi ALLAH, taqwa adalah sbaik-baiknya perhiasan diri, karenanya..ajarkanlah aku memperhias-diri dengan semulia-mulianya akhlak sebagai istri yang shalihah. Yang senantiasa memperbagus lisan serta geraknya. Memaniskan diri dengan tawadhu dan kebersahajaan.
Jika kekayaan harta pantas menjadi buruan setiap jiwa, maka demi ALLAH, akan kupinta berpuluh pilar yang memenuhi rumah kita dan emas serta mutiara akan menjadi rengekanku sepanjang siang dan malam.
Namun, demi ALLAH, dunia beserta seisinya ini bagai setetes air di bentangan samudera, karenanya.. ajarkanlah aku memenuhi hati ini dengan rasa syukur tiada kira dari tiap nafkah halal serta thayyibmu, dari 2,5% rejeki yang kita keluarkan, dan dari sedekah yang kita ikhlaskan bersama.
Aku mencintaimu karena ALLAH…
JazakamuLlah untuk setiap cinta, doa, sabar serta energi semangat yang trus kau kirimkan..
With Love,
Rabu,6 juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar